18 July 2022
Malam Jumat Itu
Hari ini merupakan
hari dimana Lukita akan melamar pekerjaan ke perusahaan yang Lukita inginkan.
Lukita bangun sangat pagi hari ini untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Mulai
dari berkas-berkas termasuk lamaran pekerjaan, biodata, dan perintilan lainnya
hingga kepada baju yang akan ia pakai.
Menjelang pagi
Lukita mulai berangkat agar tidak kesiangan, karena hari ini Lukita tidak
membawa kendaraan dan ia memilih untuk menggunakan kendaraan umum. Sekitar
pukul 7 Lukita sampai diperusahaan yang akan ia lamar. Dirasa datang paling
pagi, ternyata antrian sudah sangat panjang hingga keluar. Semua orang itu akan
melamar pekerjaan di perusahaan yang sama.
Walaupun telah
datang sepagi mungkin, ternyata Lukita sudah mendapatkan nomor antrian yang
sangat jauh dan baru mendapatkan panggilan sekitar pukul 4 sore. Setelah 2 jam kemudian
ia baru dapat pulang karena menunggu giliran akhirnya Lukita selesai sampai
pada tahap wawancara. Namun, pengumuman diterima atau tidaknya akan diumumkan 1
minggu setelahnya.
Lukita pulang
dengan lunglai karena lelahnya seharian menunggu antrian. “Untungnya aku gak
bawa kendaraan sendiri, capek banget” keluh Lukita. Setelah hampir 15 menit
menunggu di halte akhirnya Lukita mendapatkan bus untuk pulang. Lukita terkantuk-kantuk
dalam bus di perjalanan pulang karena terlalu lelah. Setelah beberapa saat
akhirnya sampai juga. Lukita berhenti di halte biasa tempat ia biasa turun.
Lukita menghela nafas panjang karena setelah itu ia harus berjalan kaki untuk
sampai ke kosannya. Ia mulai menyebrang jalan lalu memasuki gang sempit yang
cukup gelap. Tiba-tiba harum tercium bunga melati. Bulu kuduk Lukita mulai
berdiri dibarengi dengan semilir angin yang menerpa. Lukita mempercepat
jalannya.
Dengan nafas
terengah karena hampir berlari untuk segera sampai ke kosan Lukita cepat-cepat
masuk dan mengunci kamar kosannya. Karena hari sudah malam dan juga hari ini
merupakan hari yang melelahkan bagi Lukita, ia cepat cepat mandi karena ingin
beristirahat.
Setelah mandi dan
juga makan Lukita membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dan segera
mematikan lampu kamarnya. Namun, ketika Lukita akan memejamkan mata bau busuk
yang sangat menyengat tercium dikamarnya. “Bau apa ini?” bulu kuduk Lukita
berdiri, keringat dingin mulai bercucuran. Seketika dunia gelap setelah Lukita
membalikkan tubuhnya ke kanan dan melihat ada sesosok perempuan berambut
panjang, sangat panjang dengan lidah panjang menjilati sesuatu di dalam tong
sampah dikamar mandi. Makhluk itu menjilati pembalut yang ada dalam tong sampah
yang baru saja Lukita buang. Ternyata makhluk itu mengikutinya dari jalan depan
gang karena Lukita sedang menstruasi dan malam itu malam jumat. Ya, malam
jumat.
Bukan Sembarang Guling
Seperti biasa
malam ini Maya, Sinta, dan aku berkumpul di kamarnya Lukita. Kami berempat
merupakan empat sekawan sejak pertama masuk kuliah. Kami berasal dari kota yang
berbeda, kemudian dipertemukan di “Kosan Pak Ahmad” ini. Setiap malam kami
selalu berkumpul dikamarnya Lukita entah itu mengerjakan tugas bersama ataupun
hanya sekedar bergosip membicara kejadian hari ini. Bergosip merupakan hal yang
menyenangkan bagi kami para perempuan.
Tak terasa jam
sudah menunjukkan pukul 00.00, tepat jam 12 malam. Maya yang sudah terlihat
mengantuk daritadi pamit untuk kembali ke kamarnya “Guys aku balik dulu ya udah
ngantuk banget nih”. Tak kunjung lama Maya dan Sinta pun pamit. “Lah mereka
lembek banget sih baru juga jam segini, tapi aku juga mau balik dulu lah.
Gulingku sudah menungguku” candaku. Lukita tertawa. “Ehhh tu ngomong dijaga
ya”, ledek Lukita.
Setelah masuk
kamar aku langsung berbaring di bawah selimutku yang hangat sembari memeluk
guling kesayanganku. Namun, kantuk tak kunjung datang. Mataku yang sudah ku
tutup rapat-rapat tetap tak mau tidur. Tiba-tiba, sekilas bau busuk melewati
hidungku. “Ehh bau apanih? Bau banget”. Kupikir mungkin ada tikus yang mati
diatas plafon kamar kostku, dengan begitu tak kuhiraukan dan ku tetap memeluk
gulingku.
Semakin lama bau
busuk semakin menyengat, pikiranku mulai gelisah, keringat dingin mulai keluar.
Kucoba beranikan diri bangun dari tempat tidur untuk mengambil hp-ku yang ku
simpan di dekat meja belajar, yang perlu berjalan sekitar dua langkah dari
kasurku. Ku ambil hp-ku dan berusaha bodo amat terhadap yang kurasakan saat
ini.
Setelah mengambil
hp ku duduk diatas kasur dengan perasaan yang mulai tak karuan, hawa dingin
membuat bulu kudukku berdiri, kemudian aku mencoba menghubungi
sahabat-sahabatku. Namun, Maya, Sinta, dan Lukita nihil mereka tak ada yang
bisa dihubungi. Akhirnya kucoba untuk memberanikan diri untuk berbaring
kembali.
Ketika aku menarik
selimut dan berniat untuk mengambil gulingku. Tiba-tiba ada sesosok yang
seperti guling diatas kasurku dengan mata bolong, dan wajah penuh nanah dan
darah. Sosok itu menyeringai ke arahku dan berkata “Aku sudah daritadi nungguin
kamu loh”. Nafas yang memburu terasa mencekik, aku terasa ingin menghilang dari
dunia ini saat itu juga. Dan akhirnya aku kehilangan kesadaranku.
Persahabatan Sejati
Saat ini aku
berada di akhir kelas 12, tak terasa 3 tahun di SMA ku jalani hari-hariku
bersama dengan ketiga sabahatku, Sinta, Dian, dan Lukita. Tidak hanya di pada
saat bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), kita berempat sudah bersahabat sejak
pertama masuk Sekolah Dasar (SD). Tidak akan ada yang akan mengalahkan
persahabatan kami.
Dulu pertama masuk
sekolah dasar aku merupakan seorang anak yang pendiam, jarang berbicara, dan
jarang bersosialisasi. Kemudian aku ditakdirkan bertemu dengan Sinta. Sinta
merupakan anak yang sangat kecil dan juga berisik. Setiap pagi Sinta selalu
menyapaku, “Selamat pagi Mayaaaa” katanya dengan nada diimut-imutkan. Aku tak
pernah menjawab. Sampai akhirnya suatu hari aku bosan mendengarnya, ketika Sinta
berceloteh ria aku menjawab “Sinta kamu berisik sekali!” dengan nada yang cukup
tinggi bagi aku seorang anak yang jarang berbicara. Namun, bukannya Sinta marah
tetapi malah menunjukkan raut wajah yang lebih bahagia, “Ahhhh Maya, akhirnya
kamu menjadi temanku”. Aku terheran-teran, hingga akhirnya setelah kejadian itu
Sinta menjadi sahabatku.
Selain Sinta, ada
Dian sahabatku juga. Dian adalah tetanggaku. Aku selalu berangkat sekolah
bareng dengannya. Dian merupakan anak terpintar di kelas kami. Dian selalu
mendapat peringkat pertama selama sekolah. Tak heran ibuku sangat mendukung aku
dan Dian bersahabat. Jadi, ketika aku tidak tahu soal jawaban matematika yang
dipelajari aku selalu menanyakan jawabannya ke Dian, dengan sukarela Dian
selalu memberikan jawabannya kepadaku. Begitulah sampai kita bersahabat.
Tidak lupa ada
Lukita. Lukita menjadi sahabatku sejak dia pindah ke sekolah ku kelas 3 SD.
Lukita terpaksa pindah sekolah karena mengikuti ayahnya yang seorang tentara
dipindahtugaskan. Awalnya Lukita adalah anak yang aneh karena sering
menyendiri. Namun, seperti biasa sahabatku yang cerewet bernama Sinta selalu
mendekati Lukita seperti mendekatiku dulu, hingga akhirnya Lukita luluh dan
bersahabat denganku juga.
Begitulah kisah
awal pertemuanku dengan sahabat-sahabatku. Pada akhirnya aku, Sinta, dan Dian
terus memilih sekolah yang sama di SMP dan SMA. Lukita sempat pindah kota lagi
mengikuti ayahnya ketika SMP. Namun, ketika akan masuk SMA ayah Lukita pensiun
dan Lukita meminta kepada orangtuanya untuk kembali ke kota ketika dia duduk di
sekolah dasar sehingga akhirnya aku, Sinta, Dian, dan Lukita dapat kembali
bersama ketika duduk dibangku SMA. Hingga tak terasa sebentar lagi kami lulus
SMA.
Hantu WC Lukita
“loh kalian berdua udah disini”
tanyaku heran melihat dua temanku sudah berada di ujung lorong lantai satu.
Kami memang berjanji untuk bertemu disini sesudah isya untuk membuktikan
tentang cerita mistis di pondok ini. Kami merupakan murid baru di pondok ini
dan mereka adalah teman dekatku, Maya dan Sinta.
“katanya kalian setoran dulu”
“kata bu ustadzah besok aja gpp ko”
sahut Maya dengan tersenyum.
“oh gitu, yaudah yuk!” mengiyakan
perkataan mereka dan pergi menuju wc yang berada di luar gedung.
Konon, ada dua gadis yang mati
gantung diri di dalam wc tersebut hingga menimbulkan banyak suara aneh selepas
maghrib, hantu Lukita. Kami di peringati untuk tidak kesana jiga matahari sudah
terbenam, namun karena aku penasaran akan suara aneh apa yang ada disana. Maka
dari itu aku mengajak Maya dan Sinta untuk menemaniku. Dan memang kebetulan
mereka sedikit tertantang dengan mitos tersebut.
Kami bertiga sudah tiba di depan wc
tersebut, terlihat biasa saja. Tidak ada yang aneh.
“masuk yuk” kata Sinta saat aku
masih memperhatikan daerah sekitar. Karena memang biasa saja.
Maya dan Sinta masuk mendahuluiku.
Kami bertiga hanya saling pandang lalu tertawa, karena yah mitos hanyalah
mitos.
“tuh kan cuman mitos” kataku berani
Dan mereka berdua hanya mengangguk
mengiyakan.
“ga ada apa-apa mending balik aja
deh yuk! Tapi sekalian udah di wc aku mau kencing dulu ya” ucapku
“iya, yaudah sana masuk bilik”
Perasaan tak enak mulai menyerangku
saat aku baru saja masuk kedalam salah satu bilik. Hawa disekitar tiba-tiba
berubah dingin. Aku menyalakan keran air untuk mendistraksi pikiranku.
Tubuhku meremang saat mendengar
suara cekikikan di luar, lalu buru-buru ku sudahi buang air kecilku dan keluar
dari bilik. Namun yang kulihat hanya Maya dan Sinta yang tengah menatapku
tengah tersenyum.
“sudah? Yuk! Udah makin malem” seru
Maya saat tubuhku masih terdiam setelah keluar dari bilik. Memperhatikan mereka
berdua.
Aku pun melenggang di depan Maya dan
Sinta, masih terngiang jelas suara cekikikan tadi. Apakah kedua temanku ini
tidak mendengarnya? Hanya aku saja? Ketika sibuk dengan pikiranku sendiri, aku
merasa bahwa dibelakangku seperti sepi, aku tidak merasakan keberadaan kedua
temanku. Dengan sekali lirikan aku melihat kearah belakang namun kosong. Tidak
ada siapapun disana.
“dian!” itu suara sinta, mengapa
datangnya dari arah lorong?
Akupun berlari ketakutan menghampiri
Maya dan Sinta yang berada di depan lorong masuk gedung.
“kalian nih jail banget, akunya di
tinggal. Tahu-tahu kalian disini aja!”
“hah? Ditinggal? Kita baru nyampe
kok, kan aku sama Sinta setoran dulu”
“kalian tadi bareng sama aku masuk
ke wc loh! Kalian gajadi setoran tadi kata Maya” tunjukku pada Maya
“apaan, Maya daritadi sama aku. Kita
setoran abis isya. Nih baru nyampe” sanggah Sinta terheran dengan ucapanku
Aku terdiam hanya memandangi wajah
lalu beralih ke kaki dan begitu seterusnya, hingga
“Dian” panggil seseorang dari arah
wc
Dah saat aku berbalik, ada dua orang
yang sedang melambai kepadaku disana.
Maya Dian Menembus Lukita
Peluh dingin turun dari pelipisnya,
udara malam memang selalu dingin pikirnya. Sudah sekian lama ia berjalan namun
tak menemukan apapun, hanya pohon yang menjulang tinggi membuat sinar bulan tak
dapat menembusnya. Langkahnya terhenti untuk mencoba berpikir. Hal yang
terakhir ia ingat adalah saat ia duduk di depan mejanya sedang membaca sebuah
buku yang ia temukan di pojok perpustakaan sekolah. Bersampul timbul, ia ingat
ada kata Lukita dan Dian pada judul buku tersebut.
Matanya menelisik dengan awas ketika sebuah suara timbul di samping kiri. Debaran pada dada kirinya berpacu seperti sedang berlari. Napasnya tersenggal pendek-pendek seperti dunia akan kehabisan oksigen pada saat itu juga.
“Sinta” ada yang memanggil namanya
dari kegelapan. Masih berusaha mencari sumber suara tersebut ia mencoba
melangkah kembali.
“Sinta” lagi! Suara itu kembali
memanggil namanya. Ia berusaha tenang walau seluruh tubuhnya bergetar hebat.
“maya ang dian laksa” suara itu
berbisik tepat ditelinganya.
“apa maumu?” Sinta menjerit pada
suara tersebut. Matanya melihat setiap sudut untuk menemukan sebuah entitas,
namun nihil ia dapat.
Tak ada jawaban. Semua kembali
hening. Tubuhnya bergetar. Ia bermandikan keringat dingin sekarang. Dengan
keberanian yang menipis ia bersusah payah untuk melangkah kembali. Ia harus
keluar dari tampat ini, pikirnya.
Di kejauhan ia melihat setitik
cahaya, berpikir bahwa ini merupakan sebuah pertolongan, ia berlari pada cahaya
tersebut. Langkahnya gelagapan seperti baru belajar berjalan. Tubuhnya berat
seperti ia menambah berat saat itu juga. Gravitasi terasa mencegahnya untuk
melangkah lebih jauh.
Matanya menangkap bayangan hitam di
tengah cahaya tersebut. Ia coba fokuskan kembali irisnya, mencoba menebak
apakah itu, tergantung seperti dahan yang patah. Semakin dekat ia dengan cahaya
dan benda tersebut semakin jelas pandangan yang ia dapatkan, semakin sulit
bernapas paru-parunya. Ia coba hentikan langkahnya namun ia seperti terseret.
Sinta berteriak dan bangun dari
tidurnya dengan peluh membanjir. Ia tengok kanan dan kirinya. Mencoba
menetralkan detak jantung miliknya.
Bersyukur ia hanya tertidur di meja belajar saat tengah membaca dan yang
ia alami tadi hanyalah sebuah mimpi. Tak bisa ia bayangkan melihat hal tersebut
di dunia nyata. Tubuhnya lemas seperti ia benar-benar telah berlari.
“ahh bunga tidur” pikirnya
menenangkan diri.
Saat dirasa napasnya sudah teratur,
ia berpikir untuk tidur dan menutup buku yang terbuka di hadapannya. Betapa
terkejutnya ia saat paragraf terakhir buku tersebut menuliskan apa yang ia
lihat dalam mimpinya.